Lingua franca menekan penggunaan bahasa lokal? Iya. Saya melihat langsung di masyarakat, di daerah kelahiran saya, Sukabumi. Sukabumi itu wilayah Sunda asli.
Akibat merebaknya media elektronik sampai ke plosok daerah, masyarakat jadi ingin tampil gagah dengan menggunakan bahasa Indonesia di plosok desa. Bicara di angkot dua orang wanita separuh baya, ngerumpi.
"Hei, kemaren kamu teh kemana wae atuh? Meni sombong pisan. Aku jadi mikir anu teu pararuguh".
Jawaban si emak satunya,,
"Aku juga henteu ka mana. Nya biasa we, ngurus si dede bayi. Nyuci baju, ngalicin sama lain lainnya lah."
Mendengar obrolan yang begitu, kuping saya jadi jengkel. Ini kan di wilayah Sunda, ya Sunda saja secara penuh. Kenapa campur-campur? Kan dua-duanya asli Sunda, bukan orang blasteran.
Orang orang di daerah mulai merasa kampungan jika mengobrol dengan bahasa daerahnya.
Bagaimana caranya agar fenomena tersebut tidak semakin parah?
Banyak caranya, tapi saya malas untuk menuliskan semua di sini. Salah satunya adalah kampanya oleh berbagai pihak, terutama oleh pemerintah daerah dan tokoh masyarakat tentang pentingnya bahasa daerah sebagai aset kekayaan bangsa.
Sudah sering saya masuk ke toko retail modern Indomarut dan Alfimert di Sukabumi, saya dengan terang terangan berbicara bahasa Sunda.
Saat si kasir bertanya,
"Sama apa lagi kak?"
Saya jawab,
"Sareng pulsa anu 10 rebu."
Raut mukanya agak agak aneh, ah biar saja. Saya kan tidak melanggar hukum.
Semoga cerita ini bermanfaat.