Mengapa etnis Tionghoa banyak yang merasa didiskriminasi sementara yang bukan Tionghoa bilang tidak ada diskriminasi, bagaimana kalau tukeran, mau gak yg non Tionghoa jadi Tionghoa dan sebaliknya ?
Wah, pertanyaan yang cukup polos namun provokatif.
Premis dari pertanyaan ini mirip dengan pola pertanyaan lainnya. Saya beri beberapa contoh.
- Mengapa etnis pribumi banyak yang merasa etnis Tionghoa pelit, padahal etnis Tionghoa banyak yang bilang mereka tidak pelit, namun hanya perhitungan bisnis mereka ketat? Jawaban dari pertanyaan ini ya cukup sederhana. Karena mungkin memang ada etnis Tionghoa pelit, dan mereka yang berkata kalau mereka tidak pelit ya antara punya definisi pelit yang berbeda, atau memang tidak pelit.
- Mengapa etnis pribumi sering dianggap tidak kaya, sementara etnis Tionghoa sering dianggap kaya raya? Ini juga pertanyaan yang terlalu spekulatif. Orang pribumi Indonesia kaya raya juga banyak. Etnis Tionghoa yang miskin, ya juga banyak.
Kalau ada orang non-Tionghoa berkata tidak ada diskriminasi, ya mungkin karena:
- Di lingkungan mereka tidak ada diskriminasi terhadap etnis Tionghoa.
- Mereka tahu ada diskriminasi, tapi denial.
- Mereka punya definisi yang berbeda mengenai diskriminasi.
Diskriminasi etnis Tionghoa itu sesuatu yang faktual. Sesuatu yang bisa dilihat dengan kasat mata.
www-youtube-com/watch?v=vyBU4nGrAn8
Saya mendaftar militer juga didiskriminasi kok.
"Kamu Cina?"
Jelas-jelas etimologi Cina saja sebagai demonim untuk diaspora Tionghoa di Indonesia saja sangat tidak bisa diterima, meski kalau saya sih secara pribadi fine saja. Semua diskriminasi itu saya bunuh dengan cinta tentunya.
"Siap! Bukan! Saya orang Indonesia!"
Jawaban saya itu adalah awal mula saya memperoleh respect dari komrad saya di angkatan pendaftaran akademi tahun 2018 dan 2019. Saya di-dub sebagai satu-satunya etnis Tionghoa sepanjang observasi rekruter yang tidak balik kanan meski sudah di tes mental.
Mungkin memang ada sedikit hal yang menyebalkan dari etnis Tionghoa. Ini saya akui sebagai keturunan Jawa-Tionghoa. Kami terkadang cenderung kurang berbaur, curiga dengan etnis lokal, dan suka mengasimilasikan budaya, alih-alih menghapus jejak leluhur dan mengikuti budaya yang sudah ada.
Misalkan dialek Jawa Tionghoa yang lumayan sering menuai pro dan kontra.
Jangan salah, saya termasuk yang tidak suka kok dengan dialek ini. Tapi apakah kami salah? Saya sih tidak merasa salah. Toh itu bagian kok dari usaha etnis Tionghoa untuk membaur.
Dan isolasionisme orang Tionghoa juga tidak bisa sepenuhnya dibebankan sebagai liabilitas bagi etnis Tionghoa. Sudah berkali-kali orang Tionghoa jadi kambing hitam berbagai peristiwa kelam. Gestapu[1] saja sangat melukai saya, yang saat daftar akademi masih diberi julukan PKI oleh kawan-kawan seangkatan saya. Ditambah kejadian tahun 1998[2] .
Padahal justru malah banyak lho dari kami yang pergi dari Tiongkok daratan ya karena darah kental Kuomintang[3] , yang sangat anti-komunis. Kami juga secara sejarah membuktikan bahwa ikut berkontribusi dalam perlawanan terhadap kolonialisme.
Salah satunya peristiwa Geger Pacinan[4] . Meski peristiwa itu justru kurang berdarah nasionalisme Indonesia, tapi bukan serta merta orang Tionghoa itu secara default pro dengan kolonis.
Perlakuan represif inilah yang terkadang membuat orang Tionghoa cukup sentimen dengan etnis lokal.
Tanah titipan Budhe saya yang dibantu dipelihara oleh Ayah saya, justru malah jadi ajang pemalakan. Ayah saya menerima banyak sekali perlakuan diskriminatif dan intimidasi dari pengurus RT, yang meminta agar Ayah menjadikan tanah kosong itu sebagai lahan parkir warga saja. Ayah yang menolak malah dianggap seperti penjahat, aneh. Spanduk tanah dijual tiap dua minggu sekali selalu hilang entah kemana, sampai kami pasang CCTV.
Urusan uang keamanan juga cukup menjadi momok bagi para pebisnis. Banyak yang takut-takut dan menurut saja. Lalu, apakah salah kalau etnis Tionghoa sedikit curiga dengan etnis lokal, dan takut membaur?
Butuh dialek Jawa Suroboyoan serta misuh jancok bagi saya sendiri untuk benar-benar bisa membaur. Saya juga rajin main basket supaya kulit semakin gelap. Baru saya dianggap Jawa, atau kadang mirisnya baru dianggap orang Indonesia, padahal saya pegang KTP dan berstatus WNI. Adik saya yang masih ke-Tionghoa-an, masih dilihat seperti orang asing.
Konsesi yang saya lakukan untuk bisa membaur dengan orang Jawa pun tak terhitung jumlahnya. Saya sudah melupakan banyak budaya leluhur dan sangat Njowo sekali dalam hidup. Itupun masih sering mendapat pertanyaan yang lumayan menyebalkan.
"Sampean iku sakjane wong endi seh? Londho? Suroboyo asli tapi putih? Opo Cino to, rek?"
Dan tentunya demi membaur saya denial dan berkata:
"Yo Jowo seh rek, mripatmu iku mbok deleh s*lit ta heh?"
Tapi topik ini sebetulnya berpotensi membuka banyak luka bagi semua etnis. Orang Jawa dan Madura yang jadi kawan saya juga tak sedikit yang jadi korban curangnya pebisnis Tionghoa. Dibalik, saudara saya yang Tionghoa juga tak jarang jadi korban perlakuan represif masyarakat mayoritas. Ini adalah sebuah lingkaran setan tanpa henti, dimana solusi yang saya lihat hanya satu dan sangat menyedihkan, yaitu menghapus jejak leluhur.
Dan ketika saya berkata begitu, satu kota sepertinya berteriak Amin.
Tapi apakah ini harga yang harus kami bayar untuk diterima?
Wer rastet, der rostet.
Catatan Kaki
[1] Gerakan 30 September - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
[2] Kerusuhan Mei 1998 - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
[3] Kuomintang - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
[4] Geger Pacinan - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas